about me

Hello, September

9:56 PM



Holla.

Can't believe it's already September tomorrow, peeps! Sooo many things i learn this month. Semoga hal-hal yang udah terlewati, sekecil apapun itu bisa jadi pelajaran hidup, karena sesungguhnya kita nggak pernah berhenti melakukan proses pembelajaran #PraKhotbah

Lagi sibuk kelas 9 nih. Baru aja masuk, ternyata tugas yang masuk udah numpuk aja. Rada bikin kelabakan juga sebenernya, karena waktu istirahat aku sendiri berkurang drastis semenjak les dan pulang malem jadi rutinitas setahun penuh di kelas 9 ini :')

Jadi, tahun depan aku SMA.

-

SMA loh. SMA.

Astaga, Ocha udah gede :') kalo discroll lagi, perasaan baru kemarin banget aku ngepost cerita tentang Hari Kartinian di SD di mana aku pakai baju Bali, atau ngeshare postan tentang gimana senengnya aku berhasil masuk SMP. Time flies so fast, ya? Rutinitas keseharianku akhir-akhir ini semakiiin monoton aja. Bangun pagi, mandi, shalat subuh, sekolah, les, sampe rumah, ngerjain pr, tepar ketiduran, dan seterusnya. Ini nih yang bikin bosen! Refreshing-nya kalo nggak internetan, jalan-jalan ke mall yang makin penuh sesek aja, ngelarin tugas, kayaknya nggak ada 'ruang' untuk bernafas. Segala sesuatunya udah teratur, semuanya udah menjadi rutinitas. Semuanya jadi ngebosenin, sumpah.

 --

Aku baru ngelarin novel 5cm minggu lalu. Emang, udah basi banget sih sebenernya. Cuma aku doang yang belom baca novel supeeeerrrrr ini kali ya. Nyesel banget deh. Baca 5cm, bikin aku sempet ngerasa, ya ampun, aku tuh Ian banget! Iya, Ian yang dulunya benci banget sama Indonesia. Ian yang ngerasa negeri ini bobrok banget. Korupsi dimana-mana, budaya etika masyarakatnya yang kadang ga bermoral, Indonesia yang buruk banget. Aku pun pernah benci banget sama negeri ini. Tiap baca koran, selalu aja ada berita korupsi di headline-nya. Tiap aku naik angkot, si Mang Angkot selalu aja seenak udelnya ngetem atau nurunin penumpang di mana aja. Nggak jarang aku lihat anak kecil jalanan berseragam SD yang lagi ngisep rokok. Pengemis lampu merah yang doyan banget bawa anak bayinya di gendongan, berharap ia dapet duit lebih dari situ. Sistem pendidikannya yang lebih ngutamain nilai daripada ilmu. Para pejabat yang bahkan nggak hapal lagu Indonesia raya. Para caleg DPRD lulusan SMP yang nggak ngaca. Koruptor yang berhasil kabur dari penjara dan malah nonton pertandingan. Hukuman pencuri semangka yang ga sebanding dengan tindak pidana koruptor. Perumahan kumuh di tengah-tengah kota Bandung. Sungai yang penuh banget sama sampah. Tawuran dimana-mana. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Bahkan mantan presiden negeri aku sendiri pernah korupsi! Pernah nggak ya, pejabat-pejabat pemerintahan yang intelek itu mikirin keadaan rakyat miskin? Semua koruptor serakah. Semua ini ... siapa yang salah?

Kalau Ian dapet pencerahan dari pendakiannya di Mahameru, aku masih sebatas bekal dari Mama. Tidak sepatutnya kita membenci negeri ini. Kita seharusnya membenci tikus-tikus serakah itu, para koruptor. Koruptor itu, yang rata-rata adalah para pejabat kita adalah orang cerdas tanpa iman yang salah jalan. Padahal, uang bukanlah segalanya, kalau mereka belajar agama. Sementara aku sendiri beropini, sistem pendidikan kita juga kurang benar. Siswa dipaksa untuk serba benar, dipaksa untuk dapat nilai sempurna. Padahal, yang namanya proses belajar itu tentulah dari sebuah kesalahan. Dari kesalahan itu kita bisa belajar. Kita nggak bisa langsung dipaksa harus benar. Bukan berarti kita harus salah juga, tapi kita terlalu dituntut untuk mendapat nilai sempurna. Materi yang disampaikan di sekolah negeri pun, terlalu berat dan nggak efektif. Bayangin aja deh, anak TK aja udah dipaksa ngerjain soal pertambahan pengurangan 1-20! Sementara di Amerika atau Finlandia, negara yang pendidikannya paling maju di dunia, tahap pra-operasional anak usia 2-7 tahun (masa berkembangnya kemampuan kebahasaan anak) dipakai sebaik-baiknya untuk belajar berkomunikasi dan melatih kepribadian anak dan menanamkan nilai-nilai moral dan empati. Nggak heran kan, melihat anak bule kecil yang udah lancar banget komunikasinya dengan orang dewasa? Hitungan aja dipelajari, bagaimana dengan pelajaran moral dan empati? Pelajaran akhlak dan moral tentu nggak akan bisa dijelaskan secara teoritis. Kesenangan masa kecil anak-anak jaman sekarang rentan terkikis karena dibebani oleh tugas akademis sekolah.

Di Indonesia, jelas banget adanya diskriminasi tentang 'sekolah favorit' dengan sekolah biasa. Untuk masuk sekolah favorit itu, siswa harus punya nilai yang mencukupi dengan standar yang udah ditetapkan. Standar NEM misalnya. 'Sekolah favorit' ini nih yang ngebuat siswa harus dapat nilai yang serba sempurna, serba baik. Standar KKMnya pun nggak nanggung-nanggung, sampai 80-85. Bayangin, stres nggak sih? Mau nggak mau, kita dipaksa untuk mendapatkan nilai minimal 80. Kalau udah begitu, mana yang di mata para siswa lebih penting? Nilai, tentu aja. Kita dibebani tuntutan asal nilai gede. Pengkastaan sekolah seperti adanya sekolah favorit, sekolah nasional plus, sekolah bilingual, sekolah rintisan bertaraf internasional yang membebani siswa sekolah. Seharusnya, semua sekolah itu sama, setara. Kalau hanya anak-anak pintar yang bisa masuk sekolah favorit, bagaimana dengan yang kurang pintar? Apakah akan dibiarkan semakin tenggelam? Pengkastaan ini lah yang bikin aku beropini kalau negeri ini seakan-akan menganut ideologi kapitalisme.

Sementara di Indonesia sendiri, pemerintah masih aja memborbardir kita dengan seperangkat tugas berat, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ulangan kenaikan kelas, ujian akhir nasional. Tuntutan nilai dan kelulusan melalui UN bikin para siswa mungkin saja menghalalkan segala cara untuk dapat nilai bagus. Dengan mencontek, misalnya. Proses pembelajaran selama 3 tahun di SMP dan SMA, ditentukan sebagian besar oleh UN. Padahal, proses belajar di sekolah bukan hanya dari nilai akademis aja yang seharusnya diperhitungkan. Di sekolah, aku sendiri sebagai siswa ngerasa nilai pelajaran akademis adalah segala-galanya. Lalu, bagaimana dengan pelajaran akhlak, moral dan budi pekerti? Apa kita dituntut untuk cerdas tanpa landasan akhlak dan moral, seperti para koruptor-koruptor itu?

Aku pun sadar, aku nggak bisa cuma ngeluh doang kerjaannya. Aku yakin nggak cuma aku yang berpendapat hal yang sama tentang semua ini. Mungkin masih ada pemimpin negeri kita yang benar-benar mempunyai tujuan menjadikan Indonesia lebih baik. Pasti ada. Dan yang aku bisa lakukan sekarang, ialah menanamkan kejujuran dari diri aku sendiri, untuk diri aku sendiri. Tekad aku sih, aku bakal berjuang kelas 9 ini. Supaya kelak bisa aku singkirin dan gantiin tikus-tikus serakah di Indonesia ini. Supaya kelak nggak ada lagi kasus-kasus korupsi atau kemiskinan yang udah cukup bikin muak. Supaya kelak, aku nggak benci lagi terhadap negeri ini. Demi negeri ini. Aamiin.

Mungkin klise, tapi di bulan ini aku akan berusaha jadi yang lebih baik lagi. Karena itikad baik akan selalu berbuah baik pula. Bismillahirrahmanirrahim, halo September!

photos

because family is forever

6:06 PM

-
Thank you,
for all the memories.
The laughter.
The sadness.
The quality times
we spend together.
The solidarity
Togetherness.
Family.
Us.
We are family.
And we're forever.
Thank you,
for walking beside me.
for accepting my badness
for understanding
 for the loyalty.
Friend is just a word
 but you give it a meaning! :)



internet

ColorGenics

7:34 PM

Liat pada nyobain ColorGenics jadi kabitaeun.











Name: Zaskia Osya
Date: Friday 30th Aug, 2013 12:32
Colorgenics Number: 2/4/1/5/3/6/0/7/

You are very ambitious and because you seek and need recognition, you try in your own way to impress people and you want to be looked up to - to be both popular and admired. You feel that there is a gap which separates you from your fellow man, or woman as the case may be, but this anxiety is an unnecessary one. Keep on the way you are going and you may surprise yourself.

You are a very warm and emotional individual but unfortunately in the past too many people have taken advantage of this sensitive trait. You need aesthetic surroundings, or an equally sensitive and understanding partner with whom to share a warm understanding.

You are confined and trapped in a distressing or uncomfortable situation and seeking some way out. Whatever you seem to do to resolve the problem hasn't worked out. Fortunately you are able to gain some aspect of relief from someone close to you.

You are being unduly influenced by the situation that is all around you. You do not like the feeling of loneliness and whatever it is that seems to separate you from others. You know that life can be wonderful and you are anxious to experience life in all its aspects, to live it to the full. You therefore resent any restriction or limitations that are being imposed on you and you insist on going it alone.

You are trying to build up your own position and you resist all external influences. You insist that you are your own person and you will not tolerate any outside interference. Decisive and proud, you are true managerial material.

passion

future planning and those stereotype thoughts

3:57 PM

Masa depan slelau jadi topik sensitif akhir-akhir ini di keluarga aku.

"What do you want to be?" sometimes can be a hard question to be answered.

Setelah berganti cita-cita mulai dari yang muluk-muluk semacam pengen jadi presiden lah; ilmuwan lah; astronot lah; sampai sekarang pun aku masih rada ragu untuk jawab pertanyaanku sendiri, aku pengen jadi apa di masa depan?

Sekarang aku baru sadar kenapa banyak orang yang bilang kita harus punya cita-cita dari kecil. Kenapa? Karena semakin kita dewasa, kita semakin berpikir secara realistis. Mungkin dulu aku pernah mimpi cita-cita jadi entrepreneur, tapi semakin dewasa (dan semakin aku berpikir secara realistis) aku sendiri menolak mimpi aku. Bahwa jadi pengusaha tuh nggak gampang lah, harus punya manajemen yang bagus, bisa mengalami kebangkrutan lah, dsb. Dan semakin aku dewasa juga, aku mulai finding out passion aku dimana dan aku benar-benar mau jadi apa di masa depan? Semisal, cita-cita aku adalah jadi pengusaha. Tapi, semakin kesini ya aku makin mikir aja, emang apa sih yang gue tau tentang bisnis? Apakah profesi pengusaha itu 'gue banget' kah? Apakah aku orang yang penuh strategi buat jadi pengusaha? Apakah aku orang yang berani take the risk?

Pernah aku baca artikel di majalah Gogirl!, kalo ternyata your job is not your career. Oke, aku belum bekerja. Tapi ibu aku selalu wanti-wanti untuk mantepin prospek masa depan aku seperti apa dari sekarang. Passion aku akan selalu berada di seni dan aku tahu kalo aku punya big interest terhadap seni. Terus, kalo passion aku ada di seni, aku akan jadi apa? Apa aku bakal daftar kuliah jurusan desain grafis nantinya, seni rupa, atau apa?

Berkali-kali juga aku discuss sama mama tentang ini. Mama bilang cari profesi yang tetap. I once said i wanted to be a photographer. Mum didn't ignore my opinion, tapi beliau bilang ada baiknya kalau profesi seperti itu jadi freelance job aja. Kalau aku ingin jadi fotografer, aku bisa ngambil kursus. Setuju sama pendapat mama, bikin aku kudu muter otak lagi ingin jadi apa aku di masa depan. Berkali-kali nyari referensi dari mana-mana, akhirnya ketemu juga apa yang kira-kira cocok untuk jadi cita-cita aku. Apa yang sistem kerjanya 'aku' banget, apa yang profesinya 'aku' banget. Jurnalis.

Di saat teman-teman seusia aku punya cita-cita jadi dokter, beda sendiri lah aku. Sempet juga sih terpikirkan pengen jadi dokter. Nggak sedikit juga keluarga yang bilang 'kamu kalau udah gede ambil jurusan kedokteran aja. biar sama kayak mbak yaya. jadi dokter itu enak lho, duitnya banyak'. Padahal Mba Yaya sendiri bilang menjadi dokter itu adalah pengabdian terhadap rakyat, dan uang bukanlah satu-satunya apa yang dikejar oleh mereka. Aku juga tahu kalau profesi dokter bukan 'gue banget'. Duduk seharian di balik meja, menangani pasien sakit, menghafal anatomi tubuh manusia, dan segala macamnya sepertinya bukan 'dunia aku'. Aku sendiri rada takut darah atau jarum suntik --dan, hellooo, mana ada sih dokter yang takut darah!? Gue juga nggak mau kali, ditanganin dokter yang takut nyuntik gue.

Jadi, nggak heran juga banyak orang yang nanggepin gini ke aku,
"Aneh banget. Yang lain pengen jadi dokter, kamu enggak."

Setidaknya, aku cukup paham kalo cita-cita harus berasal dari diri aku sendiri, bukan ngikut orang lain. Bagaimana kalo aku tidak bahagia menjalani profesi aku sebagai dokter nanti? Aku sadar banget kalo aku orang lapangan yang nggak betah ngelakuin rutinitas yang sama setiap harinya. Mbak Ajeng banget. Mungkin dia juga orang yang berpengaruh banget untuk aku mengambil sebuah sudut pandang. Jurnalis, juga merupakan profesi yang dicita-citakan oleh Mbak Ajeng. Beruntungnya dia udah ngambil jurusan jurnalistik di fakultasnya, Fakultas Komunikasi Unpad yang mengarahkan prospek masa depannya sebagai jurnalis, reporter atau news anchor. Semua itu kerja lapangan yang penuh tantangan, yang 'aku' banget.

Oke, satu topik selesai.

Topik selanjutnya, SMA.
Jujur aja, ngiri banget aku liat semua sepupu-sepupu aku yang udah pada sukses di jalannya. Mba Yaya yang udah mau co-ass tahun depan dan setelah itu sumpah dokter, Mba Ajeng yang keras kepala, tapi berhasil ngebuktiin dan ngeyakinin orang tua gue tentang masa depannya, Mas Arif yang beerhasil masuk Tarnus dan masuk Akpol, atau mungkin Mba Ade yang udah ditawarin kerja dimana-mana karena prestasinya di ITB. Bisa nggak sih, aku kayak mereka?

Aku mampu masuk SMA mana? Dan seandainya aku udah masuk SMA, aku akan pilih jurusan apa?

Jiwa aku selalu ada di IPS, bukan IPA. Untuk masuk kuliah jurusan Komunikasi atau Hukum yang aku minati pun, berada di lingkup IPS, bukan IPA.

Dengan ketiga jurusan tersebut di atas, IPA menjadi “jurusan yang difavoritkan dan bergengsi”dibandingkan dengan jurusan IPS dan Bahasa. Katanya, selain prospek pekerjaan dengan gaji yang tinggi, jurusan IPA dinilai memiliki pilihan jurusan kuliah yang variatif dan luas, dalam artian bisa memilih kuliah di jurusan IPS maupun Bahasa. Namun sebaliknya, jurusan IPS dan Bahasa akan kesulitan menembus kuliah jurusan IPA karena mereka tidak dibekali dengan materi-materi pelajaran IPA seperti Fisika, Matematika, Biologi dan Kimia. Kalaupun mau, maka siswa-siswa di jurusan IPS dan Bahasa harus belajar mandiri atau mengikuti bimbingan belajar sehingga bisa memilih jurusan IPC ketika mengikuti tes perguruan tinggi. -kompasiana

 Oke. Tapi seandainya aku masuk jurusan IPA dan akan daftar kuliah jurusan IPS, untuk apa aku belajar IPA selama 3 tahun itu, sementara banyak ilmu yang bisa aku dapatkan di IPS untuk masa depan aku? Banyak juga orang yang milih IPA karena gengsi. Kenapa sih orang-orang berstereotipe bahwa anak IPA pinter, anak IPS engga? Apa karena anak IPA bergelut dengan hitung-hitungan sementara IPS engga? Dulu saat Orde Baru Jurusan IPA memang seakan lebih diunggulkan. Tahu gak kenapa? Itu dikarenakan pada masa pembangunan seperti saat itu kita memang banyak membutuhkan insinyur dan ilmuwan. Tapi sekarang, jaman udah maju. Ketika krisis global sedang melanda dunia, kita membutuhkan banyak ekonom yang punya pemikiran revolusioner. Kita juga membutuhkan banyak sosiolog untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial di negara ini. Dan, hellooo, masih jaman nggak sih perdebatan unggul-unggulan antara IPA dan IPS? Kayaknya nggak open-minded banget deh. Bukankah nggak sedikit juga orang-orang IPA yang malah akhirnya berkecimpung di dunia jurusan IPS? Salah nggak sih, kalau nanti di SMA aku memilih untuk masuk jurusan IPS? Apakah aku akan dicap bego juga kah? Sori mungkin rada out of topic juga ya, tapi aku kesel aja sama sudut pandang orang-orang yang nggak open-minded kayak begitu. Termasuk beberapa orang di keluarga besar aku yang beranggapan hal yang sama, yang jadi alasan dibuatnya post ini.I'm sure i will appreciate your thoughts, seandainya nggak ada diskriminasi penjurusan seperti itu. Honestly, aku bingung juga dihadapkan pilihan seperti ini (walaupun masih satu tahun lagi --karena bukan hal yang mudah untuk nentuinnya, mengingat bahwa semua ini ada hubungannya dengan prospek masa depan aku nanti).

Masih ada waktu 1 tahun buat aku untuk mantepin cita-cita dan prospek masa depan aku. Sekedar sharing aja sih disini, siapa tau bisa bukain mata orang-orang yang kaku dan masih berstereotipe hal macam itu, atau mungkin menyadarkan temen-temen betapa pentingnya mikirin masa depan dari sekarang. I will appreciate your thoughts if you mind to comment my post, siapa tau bisa ngubah sudut pandang aku, atau mungkin cita-cita aku :) who knows, aku bakal berubah pikiran untuk masuk IPA tahun depan atau bahkan, berminat jadi dokter seperti kakak --yang sebelumnya aku anggap bukan 'aku banget' :)


credit: kompasiana, catatan dunia pendidikan indonesiatips memilih jurusan studi, kaskus, pelajar boleh bicara