Faseku

4:54 PM

Siang itu, begitu masuk rumah, kamu marah-marah.
Kamu meracau tentang hidupmu, betapa tidak bahagianya kamu. Betapa semesta tak berpihak padamu. Betapa dunia seolah membencimu.
Kutanya hati-hati, takut terciprat amarahmu.
"Bermula dari Ibu memarahiku tadi pagi," ucapmu, sambil meracau.
Bangun siang dan kamar yang tak sempat kau bereskan adalah sebabnya.
Lalu kau bercerita tentang macet yang membuatmu tak boleh ikut ujian.
Aku ingat kau tadi mengumpat macet. Kau mengumpat betapa payahnya pemerintah yang tak kunjung memberi solusi kemacetan. Kau mengumpat motor-motor yang merayap sembrono, tak peduli dengan betapa sempitnya celah antara mobilmu dan mobil di depan. Kau mengumpat lampu lalu lintas yang tak berfungsi. Kau mengumpat polisi yang lamban. Bahkan kau juga mengumpat matahari yang begitu menyengat pagi itu.
Tak berhenti kau bercerita, semakin lama semakin tinggi nada suaramu. Kali ini tentang ban mobilmu yang kempes, tentang bajumu yang ketumpahan kuah es campur oleh ibu kantin, dan tentang 'itu'
"Kejadian 'itu'?" tanyaku, sembari mengelus punggungnya. Kali ini air matanya mengalir.
Kau bilang kau baru saja merasakan penyesalan terbesar dalam hidupmu. Kau berharap seandainya saja kau tak pernah bersua dengan Lupus, pacarmu. Dalam isak tangis lirih kau bercerita memergokinya berjalan dengan wanita lain, mesra. Wanita itu lagi. Kau menyerocos tentang brengseknya ia, tentang bagaimana ia selama ini menyakitimu, tentang bagaimana kau berusaha untuk bertahan, sampai kau katakan ini adalah finalnya.

Malamnya, kau membuatku terbangun oleh isak tangismu. Lirih, namun perih. Semakin kau redam, semakin meluap.

Aku, saat itu, tak mengerti cinta. Belum mengerti rasanya sakit hati, rasanya dikhianati, dan rasanya diduai oleh seseorang yang kucintai.
Kau deskripsikan rasa sakit, rasa kecewa, rasa amarah, dan rasa perih yang melanda jadi satu. Begitu menyesakkan dada hingga air matamu tak sanggup bertahan di kedua ujung pelupuk itu.
Dengan polos kukatakan, bahwa sebaiknya kau tak perlu terlibat dengan cinta, apabila akhirnya seperti ini. Maksudku, aku tak tega melihat cinta membuatmubberakhir dengan tak nafsu makan, berdiam diri di kamar, menangis sesenggukan tengah malam, sembari memaki dan mengumpat, berharap seandainya ia tak pernah hadir dalam hidupmu. Kau menggeleng pelan.
"Aku tak pernah berencana untuk menyukainya. Memang seperti itulah cara kerjanya, datang tanpa aba-aba. Kurasa tak ada satupun orang yang dapat menolak cinta, dan itulah misterinya. Kau jangan salah mengartikan cinta. Cinta itu memberi kebahagiaan, namun harus kau tahu bahwa tak semua cinta cukup kuat melawan waktu atau nafsu. Apabila tidak kuat, maka akhirnya ya seperti ini --patah hati. Fase patah hati memang berat, tapi bukan berarti cinta yang salah. Yang salah adalah subjeknya."
Yang kulakukan saat itu hanya memelukmu erat, menenangkanmu.

--

Malam ini, ceritanya berbeda.
Kulihat kamu terlelap, memegang smartphone, yang aku yakin betul skenarionya seperti ini; kau sedang asyik berkirim pesan dengan entah-siapa-itu-aku-lupa-namanya, yang kau kabarkan bahwa ia sedang dekat denganmu, namun kau tak sengaja terlelap. Kau juga kuperhatikan tak biasanya terjaga sampai larut. Aku yakin kau sedang jatuh cinta lagi. Perempuan mana yang rela berusaha agar terjaga sampai tengah malam, hanya demi berkirim pesan dengan seorang laki-laki, kalau bukan perempuan yang sedang jatuh cinta?
Tak mau merusak kebahagiaanmu, aku beranjak dari kasur, pindah kamar. Mencari tempat yang tepat untuk mengadu tangis. Kau yang sedang euforia dengan cinta yang baru tak pantas mendapatkan cerita sedihku.

Kali ini giliranku yang mengumpat.

Kali ini faseku.

You Might Also Like

0 comments