future planning and those stereotype thoughts

3:57 PM

Masa depan slelau jadi topik sensitif akhir-akhir ini di keluarga aku.

"What do you want to be?" sometimes can be a hard question to be answered.

Setelah berganti cita-cita mulai dari yang muluk-muluk semacam pengen jadi presiden lah; ilmuwan lah; astronot lah; sampai sekarang pun aku masih rada ragu untuk jawab pertanyaanku sendiri, aku pengen jadi apa di masa depan?

Sekarang aku baru sadar kenapa banyak orang yang bilang kita harus punya cita-cita dari kecil. Kenapa? Karena semakin kita dewasa, kita semakin berpikir secara realistis. Mungkin dulu aku pernah mimpi cita-cita jadi entrepreneur, tapi semakin dewasa (dan semakin aku berpikir secara realistis) aku sendiri menolak mimpi aku. Bahwa jadi pengusaha tuh nggak gampang lah, harus punya manajemen yang bagus, bisa mengalami kebangkrutan lah, dsb. Dan semakin aku dewasa juga, aku mulai finding out passion aku dimana dan aku benar-benar mau jadi apa di masa depan? Semisal, cita-cita aku adalah jadi pengusaha. Tapi, semakin kesini ya aku makin mikir aja, emang apa sih yang gue tau tentang bisnis? Apakah profesi pengusaha itu 'gue banget' kah? Apakah aku orang yang penuh strategi buat jadi pengusaha? Apakah aku orang yang berani take the risk?

Pernah aku baca artikel di majalah Gogirl!, kalo ternyata your job is not your career. Oke, aku belum bekerja. Tapi ibu aku selalu wanti-wanti untuk mantepin prospek masa depan aku seperti apa dari sekarang. Passion aku akan selalu berada di seni dan aku tahu kalo aku punya big interest terhadap seni. Terus, kalo passion aku ada di seni, aku akan jadi apa? Apa aku bakal daftar kuliah jurusan desain grafis nantinya, seni rupa, atau apa?

Berkali-kali juga aku discuss sama mama tentang ini. Mama bilang cari profesi yang tetap. I once said i wanted to be a photographer. Mum didn't ignore my opinion, tapi beliau bilang ada baiknya kalau profesi seperti itu jadi freelance job aja. Kalau aku ingin jadi fotografer, aku bisa ngambil kursus. Setuju sama pendapat mama, bikin aku kudu muter otak lagi ingin jadi apa aku di masa depan. Berkali-kali nyari referensi dari mana-mana, akhirnya ketemu juga apa yang kira-kira cocok untuk jadi cita-cita aku. Apa yang sistem kerjanya 'aku' banget, apa yang profesinya 'aku' banget. Jurnalis.

Di saat teman-teman seusia aku punya cita-cita jadi dokter, beda sendiri lah aku. Sempet juga sih terpikirkan pengen jadi dokter. Nggak sedikit juga keluarga yang bilang 'kamu kalau udah gede ambil jurusan kedokteran aja. biar sama kayak mbak yaya. jadi dokter itu enak lho, duitnya banyak'. Padahal Mba Yaya sendiri bilang menjadi dokter itu adalah pengabdian terhadap rakyat, dan uang bukanlah satu-satunya apa yang dikejar oleh mereka. Aku juga tahu kalau profesi dokter bukan 'gue banget'. Duduk seharian di balik meja, menangani pasien sakit, menghafal anatomi tubuh manusia, dan segala macamnya sepertinya bukan 'dunia aku'. Aku sendiri rada takut darah atau jarum suntik --dan, hellooo, mana ada sih dokter yang takut darah!? Gue juga nggak mau kali, ditanganin dokter yang takut nyuntik gue.

Jadi, nggak heran juga banyak orang yang nanggepin gini ke aku,
"Aneh banget. Yang lain pengen jadi dokter, kamu enggak."

Setidaknya, aku cukup paham kalo cita-cita harus berasal dari diri aku sendiri, bukan ngikut orang lain. Bagaimana kalo aku tidak bahagia menjalani profesi aku sebagai dokter nanti? Aku sadar banget kalo aku orang lapangan yang nggak betah ngelakuin rutinitas yang sama setiap harinya. Mbak Ajeng banget. Mungkin dia juga orang yang berpengaruh banget untuk aku mengambil sebuah sudut pandang. Jurnalis, juga merupakan profesi yang dicita-citakan oleh Mbak Ajeng. Beruntungnya dia udah ngambil jurusan jurnalistik di fakultasnya, Fakultas Komunikasi Unpad yang mengarahkan prospek masa depannya sebagai jurnalis, reporter atau news anchor. Semua itu kerja lapangan yang penuh tantangan, yang 'aku' banget.

Oke, satu topik selesai.

Topik selanjutnya, SMA.
Jujur aja, ngiri banget aku liat semua sepupu-sepupu aku yang udah pada sukses di jalannya. Mba Yaya yang udah mau co-ass tahun depan dan setelah itu sumpah dokter, Mba Ajeng yang keras kepala, tapi berhasil ngebuktiin dan ngeyakinin orang tua gue tentang masa depannya, Mas Arif yang beerhasil masuk Tarnus dan masuk Akpol, atau mungkin Mba Ade yang udah ditawarin kerja dimana-mana karena prestasinya di ITB. Bisa nggak sih, aku kayak mereka?

Aku mampu masuk SMA mana? Dan seandainya aku udah masuk SMA, aku akan pilih jurusan apa?

Jiwa aku selalu ada di IPS, bukan IPA. Untuk masuk kuliah jurusan Komunikasi atau Hukum yang aku minati pun, berada di lingkup IPS, bukan IPA.

Dengan ketiga jurusan tersebut di atas, IPA menjadi “jurusan yang difavoritkan dan bergengsi”dibandingkan dengan jurusan IPS dan Bahasa. Katanya, selain prospek pekerjaan dengan gaji yang tinggi, jurusan IPA dinilai memiliki pilihan jurusan kuliah yang variatif dan luas, dalam artian bisa memilih kuliah di jurusan IPS maupun Bahasa. Namun sebaliknya, jurusan IPS dan Bahasa akan kesulitan menembus kuliah jurusan IPA karena mereka tidak dibekali dengan materi-materi pelajaran IPA seperti Fisika, Matematika, Biologi dan Kimia. Kalaupun mau, maka siswa-siswa di jurusan IPS dan Bahasa harus belajar mandiri atau mengikuti bimbingan belajar sehingga bisa memilih jurusan IPC ketika mengikuti tes perguruan tinggi. -kompasiana

 Oke. Tapi seandainya aku masuk jurusan IPA dan akan daftar kuliah jurusan IPS, untuk apa aku belajar IPA selama 3 tahun itu, sementara banyak ilmu yang bisa aku dapatkan di IPS untuk masa depan aku? Banyak juga orang yang milih IPA karena gengsi. Kenapa sih orang-orang berstereotipe bahwa anak IPA pinter, anak IPS engga? Apa karena anak IPA bergelut dengan hitung-hitungan sementara IPS engga? Dulu saat Orde Baru Jurusan IPA memang seakan lebih diunggulkan. Tahu gak kenapa? Itu dikarenakan pada masa pembangunan seperti saat itu kita memang banyak membutuhkan insinyur dan ilmuwan. Tapi sekarang, jaman udah maju. Ketika krisis global sedang melanda dunia, kita membutuhkan banyak ekonom yang punya pemikiran revolusioner. Kita juga membutuhkan banyak sosiolog untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial di negara ini. Dan, hellooo, masih jaman nggak sih perdebatan unggul-unggulan antara IPA dan IPS? Kayaknya nggak open-minded banget deh. Bukankah nggak sedikit juga orang-orang IPA yang malah akhirnya berkecimpung di dunia jurusan IPS? Salah nggak sih, kalau nanti di SMA aku memilih untuk masuk jurusan IPS? Apakah aku akan dicap bego juga kah? Sori mungkin rada out of topic juga ya, tapi aku kesel aja sama sudut pandang orang-orang yang nggak open-minded kayak begitu. Termasuk beberapa orang di keluarga besar aku yang beranggapan hal yang sama, yang jadi alasan dibuatnya post ini.I'm sure i will appreciate your thoughts, seandainya nggak ada diskriminasi penjurusan seperti itu. Honestly, aku bingung juga dihadapkan pilihan seperti ini (walaupun masih satu tahun lagi --karena bukan hal yang mudah untuk nentuinnya, mengingat bahwa semua ini ada hubungannya dengan prospek masa depan aku nanti).

Masih ada waktu 1 tahun buat aku untuk mantepin cita-cita dan prospek masa depan aku. Sekedar sharing aja sih disini, siapa tau bisa bukain mata orang-orang yang kaku dan masih berstereotipe hal macam itu, atau mungkin menyadarkan temen-temen betapa pentingnya mikirin masa depan dari sekarang. I will appreciate your thoughts if you mind to comment my post, siapa tau bisa ngubah sudut pandang aku, atau mungkin cita-cita aku :) who knows, aku bakal berubah pikiran untuk masuk IPA tahun depan atau bahkan, berminat jadi dokter seperti kakak --yang sebelumnya aku anggap bukan 'aku banget' :)


credit: kompasiana, catatan dunia pendidikan indonesiatips memilih jurusan studi, kaskus, pelajar boleh bicara

You Might Also Like

1 comments

  1. Sama Ocha, aku ini yang udah kelas 2 SMK pun masih bingung setelah lulus mau gimana. Mau nerusin kuliah dgn jurusan yang aku pilih dari SMK ke atau banting setir ke jurusan lain? Mau pilih bekerja atau pilih berwirausaha? Sampe sekarang aja aku masih belum tau passion aku dimana. Mau sharing aja ya :D Kalau nerusin jurusan yang sama dari smk, berarti buat tembus sbmptn atau ujian mandiri dari univnya harus belajar pelajaran sma di bimbel. Kalau di jurusan aku sih kan farmasi ya ada ujian kejuruan nasionalnya di awal smstr ke2. Jadi fokusnya anak SMK Frms itu ada3 kalau dia milih ngelanjutin dulu. Sempet kepikiran gitu habis baca novel negeri 5 menara karya bang fuadi jadi jurnalis juga kayaknya rame misal jadi presenter atau reporter sambil keliling dunia kayak dini fitria di jazirah islam yang ngeliput kaum minoritas di eropa. Terus acara tv lain spt khazanah, khalifah, mozaik islam yang bersangkutan tentang Islam gitu kepikiran jadi sejarawan Islam juga, ya fokus sejarah islam. Nah kepikiran juga noh, habis baca tumblr nya sri izzati bagian cerita tentang kakaknya itu yang ngambil 2 jurusan di kuliah dan hasil keduanyanya cumlaude.. Jadi tambah bingung tapi jadi semangat tapi ya gitu. Yah jadi curhat, habis bingung ke siapa lagi mau cerita tentang ginian di dunia nyata. Cuma sedikit yang ngerespon dan responannya kurang membantu pilihan huhu:'( Habis dari keluarga belum ada yang tembus sampe perkuliahan jadi sedikit relasinya, beruntung deh jadi Ocha:') Hehe

    ReplyDelete